Sabtu, 23 Oktober 2010

Jangan Membebani Siswa

Para pelajar saat ini mungkin tidak mengenal lagi istilah penataran P4 seperti yang dialami para pelajar generasi-generasi sebelumnya di awal masa sekolah mereka.

Namun, bukan berarti pelajar saat ini luput dari pendidikan yang mengutamakan pada penguatan karakter, terutama karakter kebangsaan, yakni melalui program pendidikan yang dirancang oleh Kementrian Pendidikan Nasional.

Namun seperti apakah idealnya program pendidikan karakter yang ditanamkan kepada siswa, yang menjadi objek dari program tersebut? Mengingat beban ragam pelajaran yang sudah cukup banyak bagi siswa dan keefektifan pembelajaran. “Yang penting jangan seperti zaman dulu, melalui penataran P4.

Tidak hanya menyita waktu dan tenaga, tapi juga tidak ada hasil nyata yang diperoleh,” kata Danu Bintang, mahasiswa semester tujuh Universitas Negeri Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto.

Menurut Danu, penanaman karakter melalui pendidikan tidak harus dipelajari secara khusus dalam ruang kelas. Seperti halnya pada masa Orde Baru, melalui kegiatan penataran P4.

Penanaman nilainilai karakter melalui pendidikan karakter, lanjut Danu, akan lebih efektif, jika disampaikan melalui kegiatan-kegiatan mahasiswa. “Misalnya melalui UKM (unit kegiatan mahasiswa) dan perkumpulan mahasiswa,” kata Danu.

Pada tararan pendidikan dasar dan menengah pun, lanjut Danu, seharusnya pendidikan tentang karakter ini disampaikan dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler di sekolah masing-masing, ataupun melalui kegiatan-kegiatan yang menjadi agenda di masing-masing sekolah tersebut.

“Misalnya persami (perkemahan Sabtu malam Minggu),” tambah Danu. Sementara itu, Izatul Janah, pelajar salah satu sekolah swata di Jakarta Timur, menilai pendidikan karakter memang penting. Menurut Izatul, hal ini terutama terkait dalam penanaman nilai-nilai disiplin siswa serta nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan.

“Apalagi bagi remaja yang memang sedang krisis identitas dan mencari jati diri, identitas pendidikan karakter jelas diperlukan,” kata Izatul. Meski demikian, pendidikan karakter bangsa juga diharapkan jangan sampai membebani siswa dengan tambahan materi-materi terkait dengan pendidikan karakter.

“Sudah banyak sekali mata pelajaran yang harus kita pelajari. Belum lagi ada mulok (muatan lokal). Nah, kalau ditambah pelajaran karakter lagi, bisa tidak maksimal,” ujar Izatul.

Meski pada dasarnya ia terkadang kesulitan dalam menangkap muatan tentang karakter yang disisipkan dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan, namun, lanjut Izatul, pendidikan karakter yang disisipkan dalam mata pelajaran dinilai lebih bisa diterima.

“Kadang bingung juga sih. Belajar fisika saja sudah susah, harus ditambah lagi dengan karakter ini,” ujar Izatul.

Namun, baik Izatul maupun Danu sepakat bahwa dalam pendidikan karakter apa pun bentuk dan penerapannya, apakah di lingkungan sekolah ataupun lingkungan masyarakat, yang terpenting adalah peran keteladaan dari figur-figur yang ada dalam setiap lingkup tersebut. Apakah di sekolah, masyarakat, maupun keluarga.

Sekolah Bukan Satu-satunya Arena Pembelajaran

"Sekolah bukan satu-satunya arena pembelajaran bagi anak untuk menuntut ilmu. Di luar sekolah terbuka kesempatan anak mempelajari banyak hal. "

Sekolah bukan satu-satunya arena pembelajaran bagi anak untuk menuntut ilmu. Di luar sekolah terbuka kesempatan anak mempelajari banyak hal. Orang tua dalam hal ini keluarga adalah tempat utama anak menempuh pendidikan yang sebenarnya.

Hal itu mengemuka dalam seminar Mengembalikan Peran Orang Tua dalam Pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka 75 tahun SR/SD Pius Wonosobo, bekerja sama dengan majalah Basis, Minggu (30/7).

Menurut pakar pendidikan Prof Dr Mochtar Buchori sekolah bukan satu-satunya tempat menempuh pendidikan karena pendidikan itu berlangsung seumur hidup. Pertanyaan yang kemudian kerap muncul adalah apakah selama ini ada kesinambungan antara orang tua dan sekolah.

Selepas menyelesaikan studi, banyak siswa yang tidak mau kembali ke daerahnya. Akibatnya, banyak orang yang hidupnya penuh pura-pura karena tidak sepenuhnya memahami akar dirinya. Kekosongan jiwa ini yang kemudian muncul pada banyak peserta didik.

Maka, lanjut Mochtar, orang tua perlu merumuskan kembali filsafat pendidikan bagi anak dan tidak boleh sepenuhnya menggantungkan pendidikan pada pemerintah. Pemerintahan ganti setiap lima tahun sekali, kerapkali kebijakannya pun berubah. Sementara pendidikan terus menerus dan berkesinambungan.

Penggiat Forum Interaksi Guru Banyumas Agus Wahyudi menambahkan selama ini orang tua begitu sulit mengikuti pengajaran anak di sekolah. Selama ini sangat terlihat bahwa negara sangat mendominasi sekolah dan mengambil peran keluarga.

Kurikulum yang dibebankan pada anak juga didominasi negara. Di sisi lain banyak orang tua menyerahkan begitu saja pendidikan pada sekolah, jika nilai anak jelek baru orang tua ikut mengatur anak.

Bagaimana negara begitu turut campur terlihat pada penentuan kelulusan yang hanya bergantung pada hasil Ujian Nasional. Ketua PGRI Wonosobo H Guno Widagdo menyayangkan ukuran manusia unggul hanya dari tiga mata pelajaran. Dalam pertemuan-pertemuan orang tua siswa, agenda yang dibicarakan pun kebanyakan tentang ketidakmampuan ekonomi orang tua siswa, iuran wajib siswa, dan belanja sekolah. Kualitas pendidikan sendiri kurang mendapat perhatian.

Menurut pengajar SMA Kolese de Britto Yogyakarta Agus Prih Adiartanto sekolah perlu selalu mengkomunikasikan perkembangangan anak pada orang tua, dan mengajak orang tua membantu anak masuk ke kelas pilihan sesuai keahliannya. Dialog antara guru dan orang tua perlu selalu dibuka.